Minggu, 2008 Maret 09
perkembangan psikologi remaja
Anak Remaja yang Mandiri, seperti Apa?
Manusia dilahirkan dalam kondisi tak berdaya, ia akan tergantung pada orangtua dan orang-orang yang berada di lingkungannya hingga waktu tertentu. Seiring perkembangan waktu, seorang anak perlahan-lahan akan melepaskan diri dari ketergantungannya pada orangtua atau orang lain di sekitarnya untuk belajar mandiri. Hal ini merupakan suatu proses alamiah yang dialami semua mahluk hidup, tak terkecuali manusia. Mandiri merupakan kemampuan seseorang untuk tidak tergantung pada orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Kemandirian dalam konteks individu tentu memiliki aspek yang lebih luas dari sekadar aspek fisik. Lantas, remaja mandiri itu seperti apa?
SELAMA masa remaja, tuntutan terhadap kemandirian ini sangat besar dan jika tidak direspons secara tepat bisa saja menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan psikologis remaja di masa mendatang. Di tengah berbagai gejolak perubahan yang terjadi di masa kini, betapa banyak remaja yang mengalami kekecewaan dan rasa frustrasi mendalam terhadap orangtua karena tidak kunjung mendapatkan kemandirian.
Ruang konseling di website e-psikologi.com, misalnya, sebagaimanana dilaporkan, banyak dipenuhi kebingungan-kebingungan dan keluh kesah yang dialami remaja karena banyak aspek kehidupan mereka yang masih diatur oleh orangtua, meski banyak di antara mereka yang sudah berusia lebih dari 17 tahun. Salah satu contoh, dalam hal pemilihan jurusan/fakultas ketika masuk sekolah atau Perguruan Tinggi. Masih banyak ditemui orangtua yang sangat ngotot untuk memasukkan anaknya ke jurusan yang mereka kehendaki meskipun anaknya sama sekali tidak berminat masuk ke jurusan tersebut. Akibatnya remaja tersebut tidak memiliki motivasi belajar, kehilangan gairah untuk sekolah dan tak jarang justru berakhir dengan drop out dari sekolah tersebut.
Mencermati kenyataan tersebut, peran orangtua sangatlah besar dalam proses pembentukan kemandirian anaknya. Orangtua diharapkan dapat memberikan kesempatan pada anak agar dapat mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, belajar mengambil inisiatif, mengambil keputusan mengenai apa yang ingin dilakukan dan belajar mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Dengan demikian, anak akan dapat mengalami perubahan dari keadaan yang sepenuhnya tergantung pada orangtua menjadi mandiri.
Perkembangan KemandirianKemandirian, seperti halnya kondisi psikologis yang lain, dapat berkembang dengan baik jika diberikan kesempatan untuk berkembang melalui latihan yang dilakukan secara terus-menerus dan dilakukan sejak dini. Latihan tersebut dapat berupa pemberian tugas-tugas tanpa bantuan, dan tentu saja tugas-tugas tersebut disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak.
Mengingat kemandirian akan banyak memberikan dampak yang positif bagi perkembangan individu, maka sebaiknya kemandirian diajarkan pada anak sedini mungkin sesuai kemampuannya. Seperti telah diakui segala sesuatu yang dapat diusahakan sejak dini akan dapat dihayati dan akan semakin berkembang menuju kesempurnaan. Latihan kemandirian yang diberikan kepada anak harus disesuaikan dengan usia anak. Contoh, untuk anak usia 3-4 tahun, latihan kemandirian dapat berupa membiarkan anak memasang kaos kaki dan sepatu sendiri, membereskan mainan setiap kali selesai bermain, dll.
Untuk anak remaja, berikan kebebasan misalnya dalam memilih jurusan atau bidang studi yang diminatinya, atau berikan kesempatan pada remaja untuk memutuskan sendiri jam berapa ia harus sudah pulang ke rumah jika mereka keluar malam bersama temannya. Tentu saja orangtua perlu mendengarkan argumentasi yang disampaikan anaknya sehubungan dengan keputusannya. Dengan memberikan latihan-latihan tersebut, diharapkan dengan bertambahnya usia akan bertambah pula kemampuan anak untuk berpikir secara objektif, tak mudah dipengaruhi, berani mengambil keputusan sendiri, tumbuh rasa percaya diri, tidak tergantung kepada orang lain dan dengan demikian kemandirian akan berkembang dengan baik.
Kebutuhan PsikologisMemperoleh kemandirian merupakan suatu tugas bagi remaja. Dengan kemandirian tersebut berarti remaja harus belajar dan berlatih dalam membuat rencana, memilih alternatif, membuat keputusan, bertindak sesuai dengan keputusannya sendiri serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang dilakukannya. Dengan demikian, remaja akan berangsur-angsur melepaskan diri dari ketergantungan pada orangtua atau orang dewasa lainnya dalam banyak hal.
Pendapat tersebut diperkuat oleh pendapat para ahli perkembangan yang menyatakan, "Berbeda dengan kemandirian pada masa anak-anak yang lebih bersifat motorik, seperti berusaha makan sendiri, mandi dan berpakaian sendiri, pada masa remaja kemandirian tersebut lebih bersifat psikologis, seperti membuat keputusan sendiri dan kebebasan berperilaku sesuai dengan keinginannya".
Dalam pencarian identitas diri, remaja cenderung untuk melepaskan diri sendiri sedikit demi sedikit dari ikatan psikis orangtuanya. Remaja mendambakan untuk diperlakukan dan dihargai sebagai orang dewasa. Hal ini dikemukan Erikson (1992) yang menamakan proses tersebut sebagai "proses mencari identitas ego", atau pencarian diri sendiri. Dalam proses ini remaja ingin mengetahui peranan dan kedudukannya dalam lingkungan, di samping ingin tahu tentang dirinya sendiri.
Kemandirian seorang remaja diperkuat melalui proses sosialisasi yang terjadi antara remaja dan teman sebaya. Hurlock (1991) mengatakan bahwa melalui hubungan dengan teman sebaya, remaja belajar berpikir secara mandiri, mengambil keputusan sendiri, menerima -- bahkan dapat juga menolak -- pandangan dan nilai yang berasal dari keluarga dan mempelajari pola perilaku yang diterima di dalam kelompoknya. Kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial pertama di mana remaja belajar untuk hidup bersama dengan orang lain yang bukan angota keluarganya. Ini dilakukan remaja dengan tujuan untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan kelompok teman sebayanya sehingga tercipta rasa aman. Penerimaan dari kelompok teman sebaya ini merupakan hal yang sangat penting, karena remaja membutuhkan adanya penerimaan dan keyakinan untuk dapat diterima oleh kelompoknya.
Dalam mencapai keinginannya untuk mandiri, seringkali remaja mengalami hambatan-hambatan yang disebabkan masih adanya kebutuhan untuk tetap tergantung pada orang lain. Dalam contoh yang disebutkan itu, remaja mengalami dilema yang sangat besar antara mengikuti kehendak orangtua atau mengikuti keinginannya sendiri. Jika ia mengikuti kehendak orangtua, maka dari segi ekonomi (biaya sekolah) remaja akan terjamin karena orangtua pasti akan membantu sepenuhnya. Sebaliknya, jika ia tidak mengikuti kemauan orangtua, bisa jadi orangtuanya tidak mau membiayai sekolahnya. Situasi yang demikian ini sering dikenal sebagai keadaan yang ambivalen dan dalam hal ini akan menimbulkan konflik pada diri sendiri remaja.
Konflik tersebut akan mempengaruhi remaja dalam usahanya untuk mandiri, sehingga sering menimbulkan hambatan dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan sekitarnya. Bahkan dalam beberapa kasus tidak jarang remaja menjadi frustrasi dan memendam kemarahan yang mendalam kepada orangtuanya atau orang lain di sekitarnya. Frustrasi dan kemarahan tersebut seringkali diungkapkan dengan perilaku-perilaku yang tidak simpatik terhadap orangtua maupun orang lain dan dapat membahayakan dirinya dan orang lain di sekitarnya. Hal ini tentu saja akan sangat merugikan remaja tersebut karena akan menghambat tercapainya kedewasaan dan kematangan kehidupan psikologisnya. Oleh karena itu, pemahaman orangtua terhadap kebutuhan psikologis remaja untuk mandiri sangat diperlukan dalam upaya mendapatkan titik tengah penyelesaian konflik-konflik yang dihadapi remaja. Sumber: bali post
Tidak ada komentar:
Posting Komentar